Ruqyah-ruqyah syar’iyah (sejenis jampi dengan ayat Al-Qur’an yang diperbolehkan dalam syariat) yang bersih dari syirik, terutama yang diriwayatkan dari Rasulullah saw, dan khususnya jika dilakukan oleh orang muslim yang shahih.
Imam Muslim meriwayatkan dari Auf bin Malik, bahwa ia menceritakan,
“Kmai menggunakan ruqyah pada zaman jahiliyah, lalu kami tanyakan,
“Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu mengenai hal itu?”
Beliau menjawab, “Tunjukkanlah kepadaku bentuk ruqyahmu itu. Boleh-boleh saja menggunakan ruqyah, asalkan tidak mengandung kemusyrikan.”
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Jbair, katanya,
“Raulullah saw pernah melarang ruqyah. Kemudian datanglah keluarga Amir bin Hazm seraya berkata,
‘wahai Rasulullah, kami mempunyai ruqyah yang kamu pergunakan kalau disengat kala.’
Jabir berkata, ‘lalu mereka menunjukkannya kepada Rasulullah.’
Kemudian beliau bersabda, ‘Saya lihat tidak apa-apa. Barangsiapa yang dapat memberikan manfaat kepada saudaranya maka hendaklah ia memberikan manfaat kepadanya.’
Al-Hafidz menjelaskan, “Suatu sebagian ulama berpagang pada keumuman pada hadits ini, sehingga mereka memperbolahkan semua ruqyah yang pernah dicoba kegunaannya, meskipun makna lafalnya tidak dapat dimengerti. Tetapi hadits Auf itu menunjukkan bahwa ruqyah yang mengandung kemusyrikan dilarang. Dan ruqyah yang tidak dimengerti maknanya yang tidak ada jaminan terlepas dari sirik juga terlarang, sebagai sikap kehati-hatian, di samping harus memenuhi persyaratan lainnya.”
Diperbolehkannya menggunakan ruqyah ini tentu saja didasarkan pada sunnah qauliyah (sabda Nabi saw), sunnah fi’liyah (perbuatan beliau), dan sunnah taqririyah (pengakuan atau pembenaran beliau terhadap ruqyah yang dilakukan orang lain).
Bahkan Nabi saw sendiri pernah menjampi atau meruqyah beberapa orang sahabat, dn beliau pernah diruqyah oleh malaikat jibril.
Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Jibril pernah datang menemui Nabi saw dan berkata, “Hai Muhammad! Apakah engkau sakit?” Beliau menjawab, “Ya.” Jibril berkata, “Dengan nama Allah aku meruqyahmu dari segala penyakit yang mengganggumu, dan dari setiap jiwa yang jahat, serta dri ‘ain yang membuatmu celaka. Dengan nama Allah, aku meruqyahmu.”
Kalau ada orang bertanya, “Apakah oendapat anda tentang hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: “Tidak ada ruqyah kecuali terhadap penyakit ‘ain atau gigitan binatang berbisa.” Yakni binatang beracun?”
Jawabannya, Rasulullah saq tidak menolak dibolehkannya ruqyah untuk selain itu. Namun maksud hadits itu adalah bahwa tidak ada ruqyah yang lebih bermanfaat daripada ruqyah terhadap ‘ain dan gigitan binatang berbisa. Itu terindikasikan oleh alur pembicaraan dalam hadits. Karena ketika Sahal bin Hunaif terkena ‘ain, ia bertanya, “Apakah ruqyah itu baik?” Rasulullah menjawab, “Tidak ada ruqyah kecuali terhadap penyakit ‘ain atau gigitan binatang berbisa.” Makna itu juga diinsikasikan oleh banyak hadits tentang ruqyah yang bersifat umum maupun khusus.
Rasulullah saw bersabda,
“Tidak ada ruqyah kecuali terhadap penyakit ‘ain, gigitan binatang buas atau luka yang berdarah.”
Sementara dalam Shahih Muslim disebutkan, “Rasulullah saw pernah mengajarkan ruqyah terhadap ‘ain, gigitan binatang berbisa, dan penyakit semut.”
Beliau juga menyuruh sebagian sahabat agar menggunakan ruqyah syar’iyyah, bahkan menyarankan kepada sebagian istri beliau sendiri. Beliau juga membenarkan dan menyetujui sahabat-sahabat beliau yang menggunakan ruqyah.
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah saw apabila ada seseorang mengeluhkan penyakit kepada beliau atau treluka, misalnya, maka beliau mengobatinya dengan tangn beliau (sambil membaca ruqyah)
Lalu Sufyan -yang meriwayatkan hadits- meletakkan jari telunjuknya ke tanah, kemudian mengangkatnya kembali mengucapkan,
“Dengan menyebut nama Allah, debu bumi kami, dengan ludah dari mulut sabagian kami, ada kami sakit di antara kami yang berhasil disembuhkan dengan izin Rabb kami.”
Dari keterangan hadits ini dapat kita ketahui baliau mengambil ludah beliau sedikit dengan jari telunjuk beliau, lalu ditaruh di atas tanah (debu), dan debu yang melekat di jari tersebut beliau usapkan ditempat yang sakit atau luka, setelah beliau ucapkan perkataan tersebut (ruqyah) pada saat beliau mengusap.
Diriwayatkan juga dari Aisyah, ia menceritakan, “Konon, apabila Rasulullah saw jatuh sakit, Malaikat Jibril meruqyah beliau.”
Juga dari Abu Sa’id bahwa Malaikat Jibril pernah datang kepada Nabi saw dan bertanya, “Wahai Muhammad, apakah Anda sakit?”
Beliau menjawab, “Ya” lantas Jibril menjawab,
“Dengan menyebut nama Allah, saya ruqyah engkau dari segala yang menyakitimu, dari kejahatan samua jiwa atau mata pendengkia=. Allah menyembuhkan engkau. Dengan menyebut nama Allah saya meruqyah engkau.”
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Nabi saw apabila sakit membaca dua surat Al-Mu’awwidzat (Qil A’udzu bi Rabbil Falaq dan Qul A’udzu Bi Rabbin-Nas) untuk diri beliau sendiri, kemudian meniup dengan lembut tanpa mengeluarkan ludah. Ketika sakit beliau semakin parah, aku (Aisyah) yang membacakan ruqyah untuk beliau dan aku usapkannya dengan tangan beliau sendiri, karena menharapkan berkahnya.”
Diriwayatkan dari Aisyah juga bahwa Rasulullah saw pernah menyuruhnya meminta ruqyah karena sakit mata.
Juga diriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi saw pernah bertanya kepada Asma’ binti Umais;
“Mengapa saya lihat tubah anak-anak saudaraku kurus-kurus, apakah mereka kekurangan?”
Asma menjawab, ‘Tidak, tetapi penyakit ‘ain yang menimpa mereka.’
Nabi bersabda, ‘ruqyahlah mereka.”
Di sampinh itu, pernah salah seorang sahabat meruqyah pemuka dari sebuah suku –ketia mereka sedang bepergian- dengan surat Al-Fatihah, lalu pemuka suku itu memberinya seekor kambing potong, tetapi sahabat itu tidak mau menerimanya sebelum menanyakannya kepada Nabi saw. Lalu ia datang menemui Nabi saw dan menginformasikan kejadian itu kepada beliau seraya berkata, “Demi Allah, saya tidak meruqyahnya kecuali dengan surat Al-Fatihah.”
Lalu Nabi saw bersabda, “Terimalah pemberian mereka itu, dan berilah saya sebagian untuk saya makan bersamamu.”
Judul Buku : Tetap Bahagia di Saat Sakit
Penulis : Abdul Muhsin bin Zainuddin bin Qasim
Penerbit : Rumah Dzikir Solo
time??
Minggu, 06 Desember 2009
Langganan:
Postingan (Atom)