time??

Minggu, 06 Desember 2009

Meruqyah si sakit dan syarat-syratnya

Ruqyah-ruqyah syar’iyah (sejenis jampi dengan ayat Al-Qur’an yang diperbolehkan dalam syariat) yang bersih dari syirik, terutama yang diriwayatkan dari Rasulullah saw, dan khususnya jika dilakukan oleh orang muslim yang shahih.
Imam Muslim meriwayatkan dari Auf bin Malik, bahwa ia menceritakan,
“Kmai menggunakan ruqyah pada zaman jahiliyah, lalu kami tanyakan,
“Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu mengenai hal itu?”
Beliau menjawab, “Tunjukkanlah kepadaku bentuk ruqyahmu itu. Boleh-boleh saja menggunakan ruqyah, asalkan tidak mengandung kemusyrikan.”
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Jbair, katanya,
“Raulullah saw pernah melarang ruqyah. Kemudian datanglah keluarga Amir bin Hazm seraya berkata,
‘wahai Rasulullah, kami mempunyai ruqyah yang kamu pergunakan kalau disengat kala.’
Jabir berkata, ‘lalu mereka menunjukkannya kepada Rasulullah.’
Kemudian beliau bersabda, ‘Saya lihat tidak apa-apa. Barangsiapa yang dapat memberikan manfaat kepada saudaranya maka hendaklah ia memberikan manfaat kepadanya.’
Al-Hafidz menjelaskan, “Suatu sebagian ulama berpagang pada keumuman pada hadits ini, sehingga mereka memperbolahkan semua ruqyah yang pernah dicoba kegunaannya, meskipun makna lafalnya tidak dapat dimengerti. Tetapi hadits Auf itu menunjukkan bahwa ruqyah yang mengandung kemusyrikan dilarang. Dan ruqyah yang tidak dimengerti maknanya yang tidak ada jaminan terlepas dari sirik juga terlarang, sebagai sikap kehati-hatian, di samping harus memenuhi persyaratan lainnya.”
Diperbolehkannya menggunakan ruqyah ini tentu saja didasarkan pada sunnah qauliyah (sabda Nabi saw), sunnah fi’liyah (perbuatan beliau), dan sunnah taqririyah (pengakuan atau pembenaran beliau terhadap ruqyah yang dilakukan orang lain).
Bahkan Nabi saw sendiri pernah menjampi atau meruqyah beberapa orang sahabat, dn beliau pernah diruqyah oleh malaikat jibril.
Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Jibril pernah datang menemui Nabi saw dan berkata, “Hai Muhammad! Apakah engkau sakit?” Beliau menjawab, “Ya.” Jibril berkata, “Dengan nama Allah aku meruqyahmu dari segala penyakit yang mengganggumu, dan dari setiap jiwa yang jahat, serta dri ‘ain yang membuatmu celaka. Dengan nama Allah, aku meruqyahmu.”
Kalau ada orang bertanya, “Apakah oendapat anda tentang hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: “Tidak ada ruqyah kecuali terhadap penyakit ‘ain atau gigitan binatang berbisa.” Yakni binatang beracun?”
Jawabannya, Rasulullah saq tidak menolak dibolehkannya ruqyah untuk selain itu. Namun maksud hadits itu adalah bahwa tidak ada ruqyah yang lebih bermanfaat daripada ruqyah terhadap ‘ain dan gigitan binatang berbisa. Itu terindikasikan oleh alur pembicaraan dalam hadits. Karena ketika Sahal bin Hunaif terkena ‘ain, ia bertanya, “Apakah ruqyah itu baik?” Rasulullah menjawab, “Tidak ada ruqyah kecuali terhadap penyakit ‘ain atau gigitan binatang berbisa.” Makna itu juga diinsikasikan oleh banyak hadits tentang ruqyah yang bersifat umum maupun khusus.
Rasulullah saw bersabda,
“Tidak ada ruqyah kecuali terhadap penyakit ‘ain, gigitan binatang buas atau luka yang berdarah.”
Sementara dalam Shahih Muslim disebutkan, “Rasulullah saw pernah mengajarkan ruqyah terhadap ‘ain, gigitan binatang berbisa, dan penyakit semut.”
Beliau juga menyuruh sebagian sahabat agar menggunakan ruqyah syar’iyyah, bahkan menyarankan kepada sebagian istri beliau sendiri. Beliau juga membenarkan dan menyetujui sahabat-sahabat beliau yang menggunakan ruqyah.
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah saw apabila ada seseorang mengeluhkan penyakit kepada beliau atau treluka, misalnya, maka beliau mengobatinya dengan tangn beliau (sambil membaca ruqyah)
Lalu Sufyan -yang meriwayatkan hadits- meletakkan jari telunjuknya ke tanah, kemudian mengangkatnya kembali mengucapkan,
“Dengan menyebut nama Allah, debu bumi kami, dengan ludah dari mulut sabagian kami, ada kami sakit di antara kami yang berhasil disembuhkan dengan izin Rabb kami.”
Dari keterangan hadits ini dapat kita ketahui baliau mengambil ludah beliau sedikit dengan jari telunjuk beliau, lalu ditaruh di atas tanah (debu), dan debu yang melekat di jari tersebut beliau usapkan ditempat yang sakit atau luka, setelah beliau ucapkan perkataan tersebut (ruqyah) pada saat beliau mengusap.
Diriwayatkan juga dari Aisyah, ia menceritakan, “Konon, apabila Rasulullah saw jatuh sakit, Malaikat Jibril meruqyah beliau.”
Juga dari Abu Sa’id bahwa Malaikat Jibril pernah datang kepada Nabi saw dan bertanya, “Wahai Muhammad, apakah Anda sakit?”
Beliau menjawab, “Ya” lantas Jibril menjawab,
“Dengan menyebut nama Allah, saya ruqyah engkau dari segala yang menyakitimu, dari kejahatan samua jiwa atau mata pendengkia=. Allah menyembuhkan engkau. Dengan menyebut nama Allah saya meruqyah engkau.”
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Nabi saw apabila sakit membaca dua surat Al-Mu’awwidzat (Qil A’udzu bi Rabbil Falaq dan Qul A’udzu Bi Rabbin-Nas) untuk diri beliau sendiri, kemudian meniup dengan lembut tanpa mengeluarkan ludah. Ketika sakit beliau semakin parah, aku (Aisyah) yang membacakan ruqyah untuk beliau dan aku usapkannya dengan tangan beliau sendiri, karena menharapkan berkahnya.”
Diriwayatkan dari Aisyah juga bahwa Rasulullah saw pernah menyuruhnya meminta ruqyah karena sakit mata.
Juga diriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi saw pernah bertanya kepada Asma’ binti Umais;
“Mengapa saya lihat tubah anak-anak saudaraku kurus-kurus, apakah mereka kekurangan?”
Asma menjawab, ‘Tidak, tetapi penyakit ‘ain yang menimpa mereka.’
Nabi bersabda, ‘ruqyahlah mereka.”
Di sampinh itu, pernah salah seorang sahabat meruqyah pemuka dari sebuah suku –ketia mereka sedang bepergian- dengan surat Al-Fatihah, lalu pemuka suku itu memberinya seekor kambing potong, tetapi sahabat itu tidak mau menerimanya sebelum menanyakannya kepada Nabi saw. Lalu ia datang menemui Nabi saw dan menginformasikan kejadian itu kepada beliau seraya berkata, “Demi Allah, saya tidak meruqyahnya kecuali dengan surat Al-Fatihah.”
Lalu Nabi saw bersabda, “Terimalah pemberian mereka itu, dan berilah saya sebagian untuk saya makan bersamamu.”

Judul Buku : Tetap Bahagia di Saat Sakit
Penulis : Abdul Muhsin bin Zainuddin bin Qasim
Penerbit : Rumah Dzikir Solo

Sakit Sebagai Penghapus Dosa dan Sebab Ampunan

Keistimewaan agama Islam ini mencakup beberapa hal dan diantaranya adalah suatu kegembiraan bagi orang-orang yang beriman dan kabar ge,bira bagi mereka dengan pahala dan keutamaan amalan-amalan mereka serta Allah memuliakan mereka atas itu semua.
Dan, di dalam hadits-hadits berikut ini terdapat kabar gembira bagi orang-orang yang beriman. Karena, seperti kebanyakan yang kita ketahui, hampir tidak kita temukan seorangpun di muka bumi ini yang tidak pernah ditimpa penyakit, meskipun berlainan sebab-musababnya; mengenai anggota tubuhka, misalnya nyeri, atau yang mengenaiurusan hatikah, misalnya rasa gelisah dan sedih; agar selalu sabar dalam menghadapinya dan selalu mengharap pahala dari-Nya.
Aisyah r.a. berkata, “aku telah mendengar Rasulullah saw. Bersabda, ‘Tidak ada suatu apa pun yang menimpa seorang mukmin, walau duri sekalipun kecuali Allah menuliskannya sebagai kabaikan atau dihapuskannya kesalahan.’” (HR Bukhari: hadits 5640 dn HR Muslim: hadits 2572)
Dari Abi Said dan Abi Hurairah r.a. bahwa mereka berdua mendengar Rasulullah saw. Bersabda,
“Tidaklah menimpa seorang mukmin dari penyakit yang menerus, tidak pula lelah (letih), tidak pula sakit, tidak pula sedih, samapi pada sesuatu yang menggelisahkannya, kecuali dihapuskan darinya kejelekan-kejelekan” (HR Bukhari: hedits 5642/ 5641 dan HR Muslim: hadits 2573)
Dari Abi Said dan Abu Hurairah r.a. bahwa sabda Nabi saw. Bersabda,
“Tidak menimpa seorang muslim dari capai, tidak pula sakit, tidak pula gelisah, tidak pula sedih, tidak pula sebuah penyakit, tidak pula susah, sampai pada duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan karenanya kesalahan-kesalahannya” (lafal ini di riwayatkan oleh Bukhari pada hadits yang sebelumnya: hadits 5241,5642)
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka ia akan diberi ujian” (HR Bukhari: hadits 5645)
Yaitu, diujinya dengan berbagai cobaan, baik itu sakit maupun selain itu kemudian Allah memberi pahala dengan jalan itu jika ia bersabar dan mengharapkannya. Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
“Cobaan itu akan selalu menimpa seorang mukmin laki-laki dan perempuan; pada dirinya, anaknya, dan hartanya sampai dia berjumpa dengan Allah, sedang ia tidak ada kesalahan” (HR at-Tirmidi)
Dari Jabir bin Abdillah r.a. bahwa Rasullah saw. Memasuki rumah Ummi as-saa’ib atau Ummi al-Musayyib, kemudian beliau bersabda, “ada apa dengan kamu wahai Ummi as-Saai’ib atau wahai Ummi al-Musayyib menggigil seperti begitu?” Ia berkata, “Demam, Allah swt. Tidak memberi berkah terhadap sakit demam ini.” Maka Rasulullah saw. Bersabda,
“Janganlah engkau mencela demam. Sesungguhnya, demam itu menghapuskan kesalahan-kesalahan bani Adam, sebagaimana dihilangkannya karat yang merusak pada besi.” (HR Muslim: hadits 2575)
Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Aku memasuki rumag Rasulullah saw. Dan dia sedang menderita sakit panas yang teramat sangat. Kemudian kuusap dengan tanganku dan aku katakan kepadanya, ‘Wahai Rasulullah, sungguh engkau sedang menderita sakit panas yang teramat sangat.’ Maka Rasulullah saw. Bersabda, ‘Benar, aku sedang terkena sakit panas yang seperti halnya tertimpanya dua orang di antara kamu sekalian.’ Kemudian aku katakan, ‘Kalau bagitu bagimu dua pahala.’ Rasulullah saw. Bersabda, ‘Benar.’ Kemudian beliau bersabda,
“Tidaklah dari s eorang muslim yang tertimpa penyakit, sakit, atau yang semisalnya, kecuali Allah swt. Merontokkan kesalahan-kesalahannya sebagaimana rontoknya pohon akan daun-daunnya.” (HR Bukhar: hadits 5660 dan HR Muslim: hadits 2571)
Maksud dari perkataan Rasulullah tersebut adalah bahwa jika sakit yang diterima teramat sangat, maka Allah swt. Akan melipatgandakan baginya pahala. Kemudian ditambah kelipatgandaan itu setelahnya dan berakhir sampai terhapusnya segala kesalahan-kesalahan.
Dari Mu’awiyah r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
“Tidak ada sesuatu yang menimpa seorang muslim pada jasadnya yang menyebabkan ia sakit, kecuali Allah swt. telah menghapus darinya kejelekan-kejelekannya” (HR Ahmad)


Penulis : Abdullah Muhammad Al-Haritsi
Judul Buku : SAKIT Keindahan Hadir Bersamanya
Penerbit : Gema Insani Press
Tahun terbit : 2003

Jumat, 04 Desember 2009

Sakit dan Ibadah

Selayaknya seorang muslim tidak kehilangan kesempatan melakukan amal kebajikan, ibadah dan aktivitas keseharian yang bermanfaat, dalam kondisi apapun, saat sehat, atau ketika sakit. Mungkin hanya ragam aktivitasnya saja yang sedikit berubah, namun nilai dan manfaatnya usahakanlah untuk tetap optimal.

Tidak sedikit orang yang merasa putus asa ketika sakit, kemudian kehilangan semangat, seolah sakit itu adalah masa penantian belaka; menuju kesembuhan atau ke liang kubur.

Bagu seoranf muslim, sakit adalah kesempatan, sebagaimana sehat dan hidup adalah kesempatan. Saat sakit, seorang muslim memiliki kesempatan yang tidak kurang bernilai dibandingkan dengan waktu sehat. Mungkin, ada aktivitas lahiriah yang tidak bisa dilakukan saat sakit, seperti bekerja mencari nafkah yang membutuhkan energi dan kekuatan. Tapi, disaat sakit seorang muslim memiliki kesempatan 'lebih' untuk beribadah. Bahkan untuk banyak jenis ibadah yang kala sehat seringkali terabaikan.

Salah satu amalan yang tidak harus berkurang saat seseorang sedang sakit, bahkan seyogianya semakin meningkat dan bertambah, adalah berdzikir.

Allah berfirman dalam Q.S.Ali Imran:191
"(yaitu)orang-orang yang menginagt Allah sambil beridir atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi(seraya berkata): " Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka."

Berdzikir kepada Allah, sambil merenungi segala ciptaannya, saat sedang sakit, justru menjadi sebuah aktivitas yang produktif. Efektif untuk menggali potensi diri, potensi iman, dan potensi alam berpikir dan perenungan, sehingga dapat membuahkan hasil pemikiran dan temuan-temuan yang hebat. Bahkan proses dzikir dan berpikir dalam kondisi sakit seringkali lebih efektif ketimbang waktu sehat. Sakit "memaksa" seorang hamba lebih meningkat rasa berharapnya kepada Allh, juga kekuatan tawakalnya kepada-Nya. Bila banyak karya hebat bermunculan daripara pemikir dan ulama saat berada dalam penjara, dan itu karena banyaknya waktu luang, maka tidak sedikit pula karya dan hasil pemikiran yang terbentuk saat para ulama dan cerdik cendekia itu mengalami sakit.
Saat sakit seseorang juga memiliki kesempatan lebih banyak untuk berdoa. doa, yang menjadi senjata seorang mukmin, seringkali dilupakan, hanya diingat saat kebutuhan mendesak. Di saat sakit itulah seorang muslim bisa melatih diri untuk banyak-banyak berdoa. Karena Allah SWT tidak pernah membenci hamba-Nya yang banyak berdoa, namun justru semakin menyukai dan mencintai mereka.

Di saat sakit, seorang muslim juga bisa memupuk rasa syukurnya terhadap karunia sehat. Kata orang, manusia itu baru bisa mengetahui karunia penglihatan, bila matanya sedang sakit. Hal itu wajar-wajar saja. Namun hendaknya rasa syukurnya itu terus dipoles dan dikembangkan, menjadi sebuah obsesi kuat, untuk mengoptimalkan segala karunia Allah pada dirinya, bila suatu saat ia sembuh dari penyakitnya. Sebatas tekad saja sudah berniali kebaikan. Bila sempat dia lakukan, lalu membanjirlah pahala Allah untuknya karena kebaikannya itu, ia pun bersyukur bahwa Allah telah "menghadiahkan" sakit kepadanya sehingga menjadi lebih baik daripada sebelumnya.

Judul Buku : Tetap Bahagia di Saat Sakit
Penulis : Abdul Muhsin bin Zainuddin bin Qasim
Penerbit : Rumah Dzikir Solo

Hikmah Sakit

Sakit tidak selamanya menyusahkan, tidak selamanya merupakan bencana. Terkadang sakit bisa menjadi kebaikan bagi seorang hamba, meski harus sedikit menderita.

Doa yang hangat bisa terucap kala kita sakit. Tasbih yang tulus bisa terucap kala kita sakit. Bukankah pahit getir yang dirasakan seorang penuntut ilmu saat sedang belajar, saat harus menanggung segala kesulitan, akhirnya bisa membentuk dirinya menjadi ulama pilihan? Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Pahit getir yang dialami seorang pujangga, kerja kerasnya saat mengungkapkan kata-katanya, akhirnya melahirkan karya sastra memikat dan berbobot. Karena karya itu lahir dengan menahan sakit, dari dalam hati, saraf dan aliran darah, sehingga wajar akhirnya bila mampu manggugah perasaan yang menggerakkan hati pembacanya, atau siapapun yang mendengarkannya. Seorang penulis yang bekerja keras akan mampu melahirkan karya yang hidup dan menarik, mengandung banyak ibrah (pelajaran), buah pikiran dan kenangan.

Seorang penuntut ilmu yang serba kecukupan bahakan penuh kemewahan, tidak pernah mengalami kesusahan, tidak pernah ditempa oleh berbagai ujian, akan mudah menjadi murid yang pemalas, statis, dan cenderung tidak berkembang.

Seorang pujangga yang tidak pernah mengenal susah, tidak pernah merasakan pahit getir kehidpan, tidak pernah mencicipi masa-masa sulit, maka syair-syairnya akan tak ubahnya tumpukan barang murahan, tak ubahnya tumpukan buih lautan. Karena seluruh syairnya meluncur dari lisannya, bukan dari lubuk perasaan, ia hanya berkata-kata dengan mulutnya, tanpa dirasa oleh hati dan jiwanya.

Contoh yang lebih tinngi lagi: Kehidupan kaum mukminin terlebih dahulu (para ulama As-Salaf) yang hidup dimasa keemasan risalah islam, di tanah kelahiran agama Allah ini, pada masa awal diutusnya Rasulullah SAW. Merka adalah generasi yang paling kuat imannya, paling baik hatinya, paling tulus ucapannya, paling dalam keilmuannya. Karena mereka mengalami masa-masa hidup yang penuh kesuliatan, harus menahan perihnya rasa lapar, kemiskinan, gangguan, penganiayaan, bahkan terpaksa diusir dan dijauhkan dari negri mereka sendiri, berpisah dengan orang-orang yang dicintai, meninggalkan sahabat karib sejati, harus menahan perih dan luka, penyiksaa, bahkan pemunuhan. Tak pelak lagi,mereka adalah generasi pilihan,golongan utama,simbol kesucian,simbol kemuliaan,simbol pengorbana.

"Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan,kepayahran pada jalan Allah.Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melaiinkan dituliskan bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.(At-Taubat:120)

Di alam kehidupan dunia,terdapat orang-orang mampu mempersembahkan reasi terbaik mereka, karena mereka sudah merasakan terpaan derita. Al-Mutanabbi pernah terserang demam panas, lalu ia mengumandangkan syairnya yang memikat:

"Ia mengunjungi dengan penuh rasa malu, padahal ia datanng saat kegelapan melandaku,"

Nabighah juga pernah diancam akan dibunuh oleh Nukman bin Mundzir,maka ia pun menyuguhkan bait syair berikut di hadapan banyak orang,

"Engkau bagaikan mentari sementara para raja adalah bintang-bintangnya, bila sang mentari telah keluar dari sarangnya, tak satu pun bintang muncul di depan mata."

Banyak diantara mereka yang kemudian berlimpah kekayaan dunia, karena mau menahan derita.

Denhan demikian,janaganlah berduka,jangan takut hidup menderita,karena bisa jadi semua derita itu akan menjadi kekuatan dan karunia selama hidup di dunia. Hidup dengan jiwa muda, denahn hati menyala-nyala, denahn ruh penuh cita-cita, akan terasa lebih sejati dan lebih nikmat dalam jiwa, daripada hidup miskin cita-cita dengan hidup merana,

"... tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka , maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka:"Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu." (At-Taubah:46)

Konon , ada seorangpujangga yang hidup penuh penderitaan , amat sengsara dan terhimpit jiwanya karena jauh dari keluarga. Di saat hendak menghembuskan napasnya yang terakhir ia sempat mendengdangkan syairnya yang amat indah dan termahsyur, tidak terkesan dipaksakan, apa adanya. Ia adalah Malik bin Ar-Rayyib yang melantunkan syair-syairnya sebagai berikut :

"Lihatlah, aku telah manggadaikan petunjuk-petunjuk Allah denagn kesesatan, padahal dahulu aku tergabung dalam pasukan Utsman bin Affan.

Allah menghiasi diriku saat semua anakku kutinggalkan,demikan juga seluruh kebun dan harta tak sedikitpun kusisakan.

Hai dua kawan yang selalu menemaniku dalam perjalanan, turunlah di Rabiyyah karena di situlah malam-malam berikut akan kuhabiskan.

Tetaplah bersamaku selama satu hari atau setengah malam sebagai teman, jangan tergesa meninggalkanku karena ajalku akan menjadi kenyataan.

Galilah tempat pembaringanku denan ujung tombak kalian, dan letakkan ujung sorbanku yang tersisa ke dekat mata hingga dapat kurasakan.

Semoga Allah memberkati kalian. Janganlah kalian mendengki karena aku mengambil sebagian tanah yang menjadi hak kalian sebagai kuburan."

Sampai disitu suara sang pujangga mulai tertahan, terdengar rintihan dan diakhiri dengan teriakan yang menggoncang hati setiap insan, dari lubuk hati sang pujangga yang pedih perih menahan derita kehidupan.

Sesungguhnya wejangan yang berkobar-kobar akan dapat manelusupkan kata-katanya ke dalam hati paling dalam, menyelami alam arwah, karena sang pujangga memang telah merasakan derita dan kesusahan,


"..maka Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan pada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya" (Al-Fath:18)


Judul Buku : Tetap Bahagia di Saat Sakit
Penulis : Abdul Muhsin bin Zainuddin bin Qasim
Penerbit : Rumah Dzikir Solo